Liputan6.com, Jakarta - Lebih dari lima tahun setelah pandemi COVID-19 melanda, dampaknya ternyata belum usai. Pandemi bukan hanya memengaruhi mereka yang pernah terinfeksi virus, tapi juga meninggalkan tekanan psikologis berkepanjangan seperti stres mental, kesepian, dan ketidakpastian. Kondisi-kondisi ini diduga dapat mempercepat proses penuaan otak.
Meskipun masa pandemi telah lama berlalu, ilmuwan masih menemukan dampak jangka panjang terhadap kesehatan, baik secara psikologis maupun fisik. Salah satu studi terbaru yang diterbitkan di Nature Communications mengungkap bahwa pandemi bisa mempercepat penuaan otak, bahkan pada orang yang tidak pernah terinfeksi COVID-19.
Dilansir dari Wired, para peneliti dari Universitas Nottingham, Inggris, menganalisis hasil pemindaian otak (MRI) yang diambil sebelum dan setelah pandemi. Hasilnya, otak orang yang hidup melewati masa pandemi tampak menua lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang datanya diambil sebelum pandemi terjadi.
Penelitian ini menggunakan data dari UK Biobank, sebuah basis data biologis yang mencakup hampir 1.000 orang dewasa dan diperbarui secara berkala. Data tersebut termasuk hasil pemindaian MRI otak.
Hasil Penelitian Ungkap Dampak Pandemi
Terdapat dua kelompok dalam studi ini. Kelompok pertama melakukan pemindaian dua kali, sebelum dan sesudah pandemi. Kelompok kedua hanya menjalani satu kali pemindaian setelah masa karantina pandemi.
"Data MRI jangka panjang yang diambil sebelum dan sesudah pandemi dari UK Biobank memberi kami kesempatan langka untuk mengamati bagaimana peristiwa besar dalam hidup bisa memengaruhi otak," ujar Profesor Neuroimaging Komputasional di Universitas Nottingham, Stamatios Sotiropoulus.
Hasilnya cukup mengejutkan. Penelitian menunjukkan bahwa dampak pandemi pada otak tidak hanya dialami oleh mereka yang terkena COVID-19.
"Yang paling mengejutkan saya adalah bahwa bahkan orang yang tidak pernah terkena Covid menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam laju penuaan otak," kata Ali-Reza Mohammad-Nejad melalui situs resmi universitas.
"Ini benar-benar menunjukkan betapa pengalaman menjalani pandemi itu sendiri, mulai dari isolasi hingga ketidakpastian, bisa memengaruhi kesehatan otak," tambahnya.
Kelompok Rentan Lebih Terdampak
Efek percepatan penuaan otak akibat pandemi tidak terjadi merata. Peneliti menemukan bahwa kelompok usia lanjut, laki-laki, dan mereka yang berasal dari latar belakang sosial ekonomi rendah lebih rentan mengalaminya.
Ini termasuk mereka dengan tingkat pendidikan rendah, pekerjaan tidak tetap, serta masalah dalam akses perumahan dan kesehatan.
"Studi ini mengingatkan kita bahwa kesehatan otak dipengaruhi bukan hanya oleh penyakit, tapi juga oleh lingkungan sehari-hari," kata penulis utama studi, Dorothe Auer.
Dia menambahkan bahwa tekanan hidup selama pandemi bisa memperburuk kondisi kelompok yang sebelumnya sudah rentan. Meski tidak terinfeksi virus, dampak sosial dan psikologis yang mereka alami tetap berdampak signifikan terhadap otak.
"Pandemi memberi tekanan besar pada kehidupan banyak orang, terutama mereka yang memang sudah dalam kondisi sulit sebelumnya," ujarnya.
Tidak Semua Mengalami Gangguan Kognitif
Walau banyak yang menunjukkan tanda-tanda percepatan penuaan otak, bukan berarti semuanya mengalami penurunan fungsi kognitif.
Penurunan performa dalam tes fleksibilitas mental dan kecepatan berpikir hanya ditemukan pada kelompok yang pernah terinfeksi COVID-19.
Sementara itu, kelompok yang tidak pernah tertular virus tidak menunjukkan perubahan kognitif yang signifikan.
Namun, para peneliti menyadari bahwa studi ini memiliki keterbatasan. Faktor seperti jeda waktu antara pemindaian dan kurangnya keragaman data bisa memengaruhi akurasi hasil.
Meski begitu, ada harapan bahwa otak bisa pulih dari dampak ini. "Kita belum tahu apakah perubahan yang diamati ini bisa dibalikkan, tapi itu adalah kemungkinan yang memberikan harapan," pungkas Auer.