Ketika Gelar Tak Lagi Menjamin: Sekolah Tinggi, Pekerjaan Rendah

11 hours ago 11
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Ilustrasi lulus kuliah Foto: Shutterstock

Di Indonesia, sekolah dan kampus masih dianggap jalur paling aman untuk memperbaiki nasib. Orang tua bekerja keras agar anak bisa kuliah, dengan harapan gelar sarjana akan membuka pintu ke pekerjaan yang stabil. Tapi data terbaru justru memberi sinyal berbeda jumlah lulusan perguruan tinggi yang menganggur terus bertambah, seolah ijazah tidak lagi otomatis berarti pekerjaan.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2025 di kisaran 4,76 persen. Dari total sekitar 7,28 juta orang pengangguran, lebih dari 1 juta di antaranya lulusan diploma dan sarjana. Angka ini naik dibanding tahun sebelumnya, dari 5,25 persen menjadi 6,23 persen di kelompok pendidikan tinggi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, apakah pendidikan tinggi di Indonesia benar-benar selaras dengan dunia kerja?

Salah satu masalah utamanya adalah ketidakseimbangan antara output kampus dan kebutuhan industri. Kampus setiap tahun meluluskan ribuan sarjana dari jurusan yang sama, tapi industri tidak mampu menampung semuanya. Misalnya, bidang administrasi, hukum, dan ilmu sosial populer di kampus-kampus besar, tapi lapangan kerja yang relevan terbatas. Akhirnya lulusan bersaing ketat untuk posisi yang jumlahnya sedikit.

Di sisi lain, industri juga mengeluhkan soal keterampilan praktis. Banyak lulusan yang paham teori tapi tidak terbiasa dengan situasi kerja nyata. Soft skill seperti komunikasi, kemampuan kerja tim, dan adaptasi teknologi masih lemah. Padahal, perusahaan lebih suka tenaga kerja yang bisa langsung produktif, bukan yang masih perlu dilatih dari nol.

Kesenjangan ini makin terasa ketika ekonomi global sedang melambat. Perusahaan di berbagai sektor cenderung menahan ekspansi, sehingga lowongan kerja baru tidak sebanyak tahun-tahun lalu. Sektor manufaktur, yang biasanya jadi penyerap besar tenaga kerja, tertekan oleh biaya produksi dan persaingan impor. Otomatisasi juga menggantikan sebagian pekerjaan yang dulunya dikerjakan tenaga manusia. Jadi, walau jumlah lulusan meningkat, daya serap pasar tenaga kerja tidak ikut naik.

Gelar Masih Dianggap sebagai Simbol Status Semata

Penting dicatat, masalah ini tidak hanya soal kampus, tapi juga pola pikir masyarakat. Gelar masih sering dianggap simbol status, bukan sebagai bagian dari strategi karier yang realistis. Banyak orang tua mendorong anak kuliah di jurusan “bergengsi” tanpa mempertimbangkan prospek kerja. Tidak heran jika kemudian jumlah sarjana melimpah, tapi bidang kerja yang mereka incar sebenarnya sudah penuh.

Di sisi lain, jurusan yang sebenarnya dibutuhkan industri, seperti teknologi informasi, pertanian modern, atau teknik terapan, justru sering kekurangan peminat. Ini menciptakan paradoks, ada lapangan kerja terbuka di sektor tertentu, tapi tidak ada cukup lulusan yang siap mengisinya.

Pemerintah memang mencoba menjembatani kesenjangan ini dengan program link and match, sertifikasi, dan magang berskala nasional. Kampus juga didorong menyiapkan kurikulum Merdeka Belajar yang lebih fleksibel. Namun di lapangan, akses program seperti ini masih timpang. Kampus besar di kota-kota besar lebih mudah terkoneksi dengan industri, sedangkan kampus di daerah sering kesulitan. Akibatnya, peluang mahasiswa untuk mendapat pengalaman praktis berbeda jauh tergantung lokasi kampusnya.

Selain itu, tidak semua perusahaan mau terlibat serius dalam pendidikan. Ada yang hanya menerima magang sebagai formalitas, tanpa memberi pengalaman nyata. Jika praktik seperti ini berlanjut, link and match hanya akan jadi jargon tanpa hasil.

Fenomena sarjana menganggur membawa dampak sosial yang besar. Anak muda yang sudah menginvestasikan waktu dan biaya pendidikan tinggi bisa kehilangan motivasi ketika realitas tidak sesuai harapan. Rasa frustrasi mudah muncul, apalagi ketika melihat bahwa pekerjaan yang tersedia kadang justru diisi oleh lulusan dengan pendidikan lebih rendah.

Masyarakat juga perlahan mempertanyakan: untuk apa biaya kuliah yang mahal kalau akhirnya tidak ada jaminan pekerjaan? Pertanyaan ini berpotensi menggerus kepercayaan terhadap sistem pendidikan formal, terutama pendidikan tinggi.

Ke depan, kunci penyelesaian ada pada dua hal. Pertama, penyesuaian skala besar antara kebutuhan tenaga kerja dan arah pendidikan tinggi. Kampus perlu jujur melihat data pasar kerja sebelum membuka atau memperluas jurusan. Kedua, fokus pada pengembangan keterampilan nyata, baik teknis maupun nonteknis. Lulusan yang hanya membawa gelar tanpa keterampilan tidak akan kompetitif di pasar kerja.

Gelar masih penting, tapi nilainya akan turun jika tidak diikuti kompetensi. Dunia kerja sekarang menilai kemampuan lebih dari sekadar ija...

Read Entire Article