Jadi intinya...
- Film TINGGAL MENINGGAL menyajikan komedi gelap tentang interaksi pemuda kesepian dengan arwah.
- Kisah ini menyoroti tema isolasi sosial dan pencarian makna hidup melalui humor yang satir.
- Produksi film ini melibatkan pendekatan unik dalam menggambarkan dunia spiritual dan realitas.
Liputan6.com, Jakarta Film TINGGAL MENINGGAL menjadi salah satu tontonan yang paling dinanti di pertengahan tahun 2025. Film ini menampilkan kisah pemuda kesepian yang kini banyak dialami oleh orang-orang di Indonesia, dengan balutan komedi, drama, dan satir gelap tentang sudut pandang yang berbeda.
Sebagai sutradara, Kristo Immanuel, menandai debutnya di layar lebar, dengan mengandalkan tokoh pemuda introvert bernama Gema, yang hidupnya berubah drastis setelah mampu melihat sosok anak kecil tak kasat mata. Lewat pendekatan komedi yang tajam dan emosional, TINGGAL MENINGGAL mengupas dinamika sosial yang kerap terjebak dalam tekanan hidup, serta absurditas pergaulan modern.
Sosok-sosok yang meramaikan film ini pun dipilih Kristo tidak sembarangan, seperti Omara Esteghlal, Mawar Eva de Jongh sampai Mario Caesar. Nyatanya, mereka bisa membawa suasana film ini menjadi lebih hidup, dan related dengan kondisi kekinian anak muda dengan segala masalahnya. Penasaran seperti apa sinopsisnya? Simak informasi berikut, dirangkum Liputan6, Kamis (31/7).
Alur Film TINGGAL MENINGGAL: Gambarkan Kondisi Kesepian Anak Muda Usai Sang Ayah Meninggal
Kisah dimulai saat Gema, seorang pegawai kantoran yang kikuk dan pendiam, kehilangan ayahnya. Duka itu secara tak terduga membangkitkan kemampuan supernatural dalam dirinya, yakni bisa bercakap dengan sosok anak kecil. Namun alih-alih menjadi horor penuh teror, film ini mengajak penonton tertawa lewat absurditas dan satir sosial yang menyertainya. Di sana, anak kecil yang diimajikan Gema merupakan sosoknya saat masih kecil.
Dalam kondisi bingung dan kesepian, Gema mulai berinteraksi dengan sosok yang dianggap tak kasat mata itu dan memunculkan banyak kejadian tak terduga. Film ini kerap memecah “dinding keempat” (breaking the fourth wall), membuat penonton merasa terlibat langsung dalam dilema yang dialaminya. Perjalanan Gema menjadi titik tolak dari perubahan besar dalam cara ia memandang kehidupan, kematian, dan relasi sosial yang sebelumnya ia hindari.
"Ketika ayahnya meninggal, seorang pemuda canggung dikejutkan oleh perhatian dari rekan-rekan kantornya. Ketika kehangatan itu lenyap dan segalanya kembali dingin seperti semula, ia mulai bertanya-tanya: Siapa lagi yang harus mati?," seperti tertulis di laman IMDb.
Munculkan Sisi Humor Gelap Satir yang Unik
Setelah kematian ayahnya, Gema justru mendapat perhatian lebih dari rekan sekantor yang biasanya cuek. Tapi kehangatan itu bersifat sementara, karena tak lama, suasana kembali dingin dari rekan-rekan kantornya. Di momen itu, Gema mulai mempertanyakan tulusnya hubungan perteman mereka di tempat bekerja.
Lewat kejadian tersebut, film menyoroti bagaimana reaksi sosial bisa begitu manipulatif dan superficial. Komedi gelapnya muncul justru dari situasi-situasi yang tidak lazim, seperti Gema yang "dijadikan" media oleh imajinasinya untuk menyampaikan pesan ke dunia nyata, sampai proses percakapan yang memunculkan pertanyaan absurd "siapa lagi yang akan mati selanjutnya?"
Dalam komunikasi tersebut, Gema dan sang anak kecil, kemudian membahas bagaimana jika sang ibu meninggal, maka teman-teman kantornya akan kembali hangat dan bersimpati kepadanya. Momen ini jadi salah satu yang paling menggelitik, sekaligus menjadi sentilan di masa sekarang.
Komedi Horor Ini Menyisipkan Kritik Tentang Hubungan Sosial Anak Muda
Film ini bukan sekadar hiburan. Di balik tawa dan absurditas, tersimpan pesan mendalam tentang pentingnya hubungan sosial yang sehat, khususnya bagi generasi muda. Gema digambarkan sebagai representasi anak muda yang kesepian meski hidup di tengah keramaian. Kristo Immanuel menempatkan konflik batin Gema dalam situasi yang ekstrem namun relatable. Interaksinya dengan sosok anak kecil menjadi metafora dari suara hati yang selama ini ia pendam.
Bumbu satir diperkuat lewat situasi absurd yang akrab di masyarakat urban, yakni kantor yang penuh basa-basi, media sosial yang hipokrit, hingga relasi manusia yang dipenuhi kepalsuan emosional. Ini berdasarkan hasil observasinya dengan teman-teman gen-Z yang banyak bekerja di industri kreatif dan start up, serta kerap mengalami kondisi yang persis dialami Gema.
"Ngobrol sama diri sendiri versi bocil untuk nyari cara dapetin perhatian dari temen-temennya. Dari ide jahil gw dan Jessica Tjiu, semoga suka #TingNing yaaa," kata Kristo di unggahannya.
Cerita Berangkat dari Keresahan Nyata Kaum Muda Urban
Kristo Immanuel mengaku menggagas TINGGAL MENINGGAL berdasarkan keresahannya sebagai anak muda urban yang merasa tidak benar-benar “terhubung” meski dikelilingi banyak orang. Ia menggambarkan dunia Gema sebagai cerminan masyarakat kita yang makin terputus secara emosional.
Proses kreatif film ini juga tidak biasa. Kristo bersama tim menyusun mock-up film selama 1,5 jam sebagai prototipe, agar para kru dan aktor bisa memahami nada emosional film sejak awal. Alih-alih membuat komedi murahan, TINGGAL MENINGGAL tampil sebagai kritik sosial berbalut humor getir yang sangat relevan dengan kondisi psikologis generasi sekarang.
...