Liputan6.com, Jakarta Gian Piero Gasperini bukan nama baru di jagat sepak bola Italia, tapi musim ini dia tampil dengan cerita berbeda. Usianya sudah 67 tahun, dan kini dia menukangi Roma sebagai pelatih tertua di Serie A 2025/2026. Dari Atalanta ke Ibu Kota, Gasperini datang bukan sekadar menutup karier, melainkan tetap membawa ambisi dan filosofi permainan menyerang yang jadi ciri khasnya.
Resmi diumumkan sebagai pelatih Roma pada 6 Juni 2025, Gasperini dikontrak hingga musim panas 2028. Ia menggantikan Claudio Ranieri, yang memutuskan pensiun setelah musim emosional di Olimpico. Gasperini datang dengan reputasi mentereng, terutama setelah membawa Atalanta juara Liga Europa 2023/2024.
Kepindahannya ke Roma sekaligus menjadi babak baru dalam karier panjangnya di dunia kepelatihan. Ini klub kedelapan yang ia latih sejak 2003, tapi yang menarik, inilah salah satu klub terbesar yang pernah ia tangani pasca-Inter Milan. Kini, publik menanti: apakah Gasperini bisa menularkan magis Atalanta-nya di Roma?
Dari Bergamo ke Roma: Jalan Panjang Sang Taktisi
Selama sembilan tahun di Atalanta, Gasperini dikenal sebagai arsitek tim underdog yang sering merepotkan raksasa Serie A. Ia tak hanya membawa timnya tampil di Eropa, tapi juga meraih gelar prestisius. Kemenangan di Liga Europa 2023/2024 menjadi bukti sahih kapasitasnya membangun tim kompetitif.
Sebelum Atalanta, perjalanan Gasperini terbilang naik-turun bersama Genoa, Palermo, hingga sempat melatih Inter meski singkat. Roma, klub besar dengan ekspektasi besar, menjadi ujian baru di akhir kariernya. Namun, bagi Gasperini, tekanan semacam itu justru menjadi tantangan yang menarik.
Dia bukan tipe pelatih yang puas hanya sebagai pengisi kursi tua di pinggir lapangan. Gasperini masih punya energi, masih haus tantangan, dan tetap setia pada filosofi menyerangnya. Di usia 67 tahun, dia menunjukkan bahwa pengalaman adalah kekuatan, bukan sekadar angka.
Sepak Bola Gasperini: Serangan Total, Risiko Maksimal
Gasperini selalu dikenal sebagai pelatih yang berani bertaruh lewat sepak bola menyerang. Skemanya fleksibel, tapi ciri khasnya tetap, yaitu formasi tiga bek dengan variasi 3–4–3 atau 3–4–1–2, serta pressing tinggi. Ia mengandalkan gelandang serba bisa dan winger agresif yang siap menusuk dari sisi lapangan.
Di lini depan, dia menyukai pemain-pemain kreatif dan lincah, tapi tak jarang memakai striker jangkung untuk duel udara. Gaya mainnya sering disebut mirip Ajax era Louis van Gaal, bukan tipikal Italia yang bertahan rapat. Bagi Gasperini, mencetak lebih banyak gol adalah bentuk pertahanan terbaik.
Namun, gaya ini tak lepas dari kritik, terutama soal keseimbangan. Timnya kerap kebobolan karena terlalu fokus menyerang. Kini, publik penasaran, mampukah gaya berisiko itu bekerja di Roma, klub dengan tekanan hasil yang jauh lebih tinggi dibanding Atalanta?
Taktik Nyentrik di Klub Klasik: Apa yang Ditunggu dari Roma Gasperini?
Roma bukan klub kecil, dan fans-nya tak hanya ingin gaya main atraktif, tapi juga trofi. Gasperini sadar, ekspektasi di Olimpico lebih berat dibanding di Bergamo. Namun, dia percaya, dengan pemain yang tepat, sepak bola menyerang bisa membawa Roma ke level lebih tinggi.
Kontrak hingga 2028 menunjukkan bahwa manajemen Roma memberinya waktu. Namun, di Serie A, kesabaran itu bisa habis cepat jika hasil tak memuaskan. Gasperini harus membuktikan, di usia senja pun, dia tetap relevan dan bisa mengangkat Roma bersaing di papan atas.
Musim baru segera dimulai, dan Gasperini jadi sosok yang paling dinanti kiprahnya. Tua, nyentrik, dan berani—itulah Gasperini. Roma, siap atau tidak, akan jadi panggung terbarunya dalam dunia sepak bola Italia.