Liputan6.com, Jakarta - Blue food atau pangan biru kian menarik perhatian dunia sebagai solusi sistem pangan yang berkelanjutan. Indonesia, sebagai negara maritim dengan kekayaan perairan yang melimpah, memiliki potensi besar untuk mengembangkan pangan biru sebagai bagian dari warisan kuliner sekaligus strategi menghadapi krisis iklim.
Peneliti senior IPB University, Dr. Tukul Rameyo Adi, menegaskan, blue food dapat berperan besar dalam dekarbonisasi sistem pangan global.
"Produksi protein dari perairan, terutama dari praktik budidaya berkelanjutan dan tangkapan tradisional, memiliki jejak karbon yang lebih rendah dibanding daging merah," katanya.
Hal ini menjadikan blue food sebagai alternatif penting dalam mendorong transisi pangan rendah emisi dan ramah lingkungan.
Guna mendorong pemahaman dan kolaborasi lintas sektor, Climateworks Centre bersama Climate Reality Indonesia dan IPB University menyelenggarakan side event bertajuk Blue Bites: A Culinary Dive into Climate-Friendly Food Solutions.
Dari Tuna Gohu hingga Siput Blencong
Acara ini digelar sebagai bagian dari The 5th International Conference on Integrated Coastal Management and Marine Biotechnology di Royal Ambarrukmo, Yogyakarta.
"Blue food bukan sekadar menu laut, tetapi wujud nyata aksi iklim yang berkeadilan. Setiap sajian hari ini adalah cerita. Tentang rasa, tradisi, dan transformasi," kata Program Impact Manager Oceans, Climateworks Centre, Etwin Kuslati Sabarini, saat membuka acara.
Melalui panel diskusi yang dipandu Amanda Katili Niode, Ph.D., Direktur Climate Reality Indonesia, berbagai perspektif diangkat mengenai pentingnya pangan biru bagi masa depan.
Direktur Eksekutif NUSA Indonesian Gastronomy Foundation, Meilati Batubara, mengangkat dimensi budaya dalam blue food.
"Setiap wilayah Indonesia punya kisah kuliner biru yang khas, dari tuna gohu di Halmahera sampai siput blencong dari Pulau Pari. Kita perlu menggali dan melestarikan ini sebagai warisan kuliner berkelanjutan," ujarnya.
Isu Kesetaraan di Balik Warisan Kuliner
Isu kesetaraan juga tak luput dari sorotan. Dosen hubungan internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), Atin Prabandari, Ph.D menyampaikan bahwa perempuan memainkan peran penting dalam rantai pangan laut, mulai dari pengolahan, distribusi, hingga pengetahuan lokal.
"Pemberdayaan perempuan dalam sistem pangan biru adalah kunci keberlanjutan," katanya.
Komitmen penguatan narasi dan bukti ilmiah juga disampaikan Community Action Manager Climate Reality Indonesia, Arifah Handayani.
"Kami mendukung penuh acara ini untuk memperkuat informasi ilmiah dengan bukti nyata: keragaman dan kelezatan blue food Indonesia yang patut dibanggakan," ujarnya.
Kreasi Blue Food Nusantara
Puncak acara dimeriahkan dengan demo masak oleh Chef Ragil Imam Wibowo, salah satu chef terbaik Asia, bersama Chef Eko Purdjiono dari Ambarrukmo. Keduanya menyajikan kreasi Blue Food Nusantara dalam sentuhan modern, seperti:
- Belut balado (sawah – Sumatra Barat)
- Oyster Noorhosori (pesisir – Papua)
- Siput blencong (pesisir – Pulau Pari)
- Wader bumbu pecel (sungai – Yogyakarta)
- Tuna gohu (laut – Halmahera)
- Kepiting soka kari andaliman (pesisir – Sumatra Utara)
- Rujak bulung boni dan minuman rumput laut (pesisir – Bali)
Melalui Blue Bites, kolaborasi lintas disiplin berhasil disatukan, yaitu peneliti, aktivis, pembuat kebijakan, hingga pelaku kuliner bertemu untuk membahas masa depan pangan biru.
Saatnya melihat blue food bukan hanya sebagai menu laut biasa, melainkan warisan kuliner Nusantara yang punya daya tawar besar sebagai solusi pangan rendah emisi, sehat, dan berkelanjutan.