Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno berpendapat bahwa negara berkembang perlu merumuskan metode dan pendekatan ilmiah untuk menghitung harga penyerapan karbon.
Hal itu disampaikan Havas saat memberikan sambutan pembukaan dalam simposium “Exploring the Global South: Epistomologies, Development Pathways, and Research Network” yang diselenggarakan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Jakarta, Kamis.
Menurutnya, para ahli, profesor, dan akademisi di negara-negara berkembang perlu duduk bersama untuk menyusun metode perhitungan penyerapan karbon yang disepakati bersama, lalu membahasnya di tingkat pemerintahan.
"Maka pemerintah akan dapat memutuskan, baik di negara-negara maju dan negara-negara berkembang, standar yang kita kembangkan sendiri untuk produk yang tumbuh di negara kita sendiri. Bukan lagi orang lain yang menentukan standar untuk kita,” tambah Havas.
Wamenlu RI itu pun memberi contoh penghitungan harga karbon biru (blue carbon).
Havas mengatakan dirinya telah bertanya dengan para ahli dari berbagai negara mengenai penetapan harga penyerapan karbon biru, menambahkan bahwa hal itu masih bisa diperdebatkan, terutama mengenai komponen karbon biru yang berbeda-beda di setiap negara.
“Tapi sekali lagi, masalahnya sama. Tidak ada satu metode tunggal untuk menghitung penyerapan karbon biru dan penetapan harganya,” ujar Havas.
Wamenlu RI itu menegaskan bahwa pengembangan metode tersebut merupakan tantangan bagi semua untuk bekerja sama dalam metode-metode di berbagai aspek perubahan iklim.
Selain itu, Havas juga menyebutkan contoh lain yaitu ketergantungan perdagangan, di mana negara-negara berkembang masih belum dapat menetapkan standar harganya sendiri.
Menurutnya, ada banyak negara penghasil kopi yang harganya masih ditetapkan oleh pihak selain negara-negara berkembang tersebut, menandakan bahwa negara-negara berkembang tidak benar-benar memiliki produk mereka sendiri.
“Saya pikir negara kita harus membangun (standar) sendiri, karena ini ada di rumah kita, di tanah kita, ini warisan kita,” kata Havas.
Simposium tersebut merupakan bagian dari rangkaian PARETO 2025, forum tahunan yang diselenggarakan oleh Organisasi Riset Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi, dan Kesejahteraan Masyarakat BRIN.
Simposium itu mempertemukan para akademisi, ekonom, pembuat kebijakan, dan praktisi pembangunan dari berbagai negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah.
Kegiatan tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari negara-negara anggota BRICS dan ASEAN, yang membawa perspektif regional dalam memperkuat solidaritas dan kerja sama Selatan-Selatan.
Baca juga: BRIN kaji metode penentuan harga karbon terkait perdagangan emisi
Baca juga: BRIN: Kebijakan harga karbon cara tepat kurangi emisi rumah kaca
Pewarta: Cindy Frishanti Octavia
Editor: Primayanti
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.