Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Indonesia Arif Havas Oegroseno menekankan pentingnya tatanan berbasis hukum internasional dalam penyelesaian perundingan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai subsidi sektor perikanan.
Pernyataan tersebut disampaikan Wamenlu Havas dalam diskusi publik bertajuk “Pandangan Kebijakan Luar Negeri Jerman di Indo-Pasifik” di Jakarta, Rabu, yang turut dihadiri Menteri Luar Negeri Jerman Johann Wadephul.
“Hal lain yang ingin saya soroti adalah nilai inti yang kita bagi bersama, yakni pentingnya tatanan berbasis hukum internasional. Ini adalah prinsip yang sangat penting. Namun tantangannya, saat ini kita menyaksikan bahwa hukum internasional mulai dibelokkan atau dimanipulasi,” kata Wamenlu Havas.
Havas menuturkan, ada pihak-pihak yang berhasil menyisipkan dua frasa “praktik historis” dalam proses negosiasi subsidi di WTO. Ia menuturkan WTO tampaknya tidak sepenuhnya memahami dinamika geopolitik di kawasan Indonesia, atau mungkin di bagian dunia mana pun.
Namun, entah bagaimana, WTO kini sedang membahas kemungkinan bagi suatu negara untuk memberikan subsidi kepada nelayan mereka di wilayah yang berada di luar yurisdiksi nasionalnya, selama mereka dapat membuktikan adanya "praktik historis".
“Bagi Indonesia, praktik historis kami bahkan dapat ditelusuri hingga abad ke-2. Saya tidak tahu bagaimana dengan Jerman, tetapi menurut saya ini merupakan ancaman yang sangat serius,” ujar Havas.
Oleh karena itu, ia meminta agar tim perunding Jerman yang terlibat aktif dalam negosiasi subsidi perikanan di WTO, untuk dapat meninjau kembali pembahasan tersebut.
“Sebab, meskipun kita sering menekankan pentingnya hukum internasional, dalam proses perumusannya, terkadang kita tidak benar-benar memahami dampak dari apa yang sedang dinegosiasikan oleh para perwakilan kita,” tutur Havas.
Konferensi Tingkat Menteri ke-12 WTO di Jenewa, Swiss pada 2022, telah menyepakati dua dari tiga pilar mengenai subsidi perikanan. Pilar 1 tentang IUU Fishing (Illegal Unreported Unregulated Fishing) dan Pilar 2 tentang Overfishstock. Dalam perjanjian tersebut, kesepakatan subsidi perikanan dianggap sebagai langkah maju yang besar bagi keberlanjutan laut dengan melarang subsidi perikanan yang merugikan.
Indonesia belum meratifikasi perjanjian tersebut karena bertentangan dengan sejumlah undang-undang, yang salah satunya, pada Pasal 18 UU 7/2016 itu disebutkan bahwa “Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan prasarana Usaha Perikanan dan Usaha Pergaraman”.
Jika perjanjian WTO disahkan dan atau disepakati, maka pemerintah Indonesia tidak lagi memiliki kewenangan untuk memberikan dukungan atau subsidi dalam bentuk apapun kepada nelayan.
Baca juga: WTO revisi pertumbuhan perdagangan barang Global 2026 jadi 1,8 Persen
Baca juga: RI dan Selandia Baru targetkan kerja sama dagang Rp58,3 T pada 2029
Baca juga: Wamenlu: Tarif Trump sepatutnya digugat negara terdampak ke WTO
Baca juga: Wamenlu sebut akan bawa masalah bea masuk biodiesel oleh UE ke WTO
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Martha Herlinawati Simanjuntak
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.