
PRESIDEN Fipilina Ferdinand Marcos Jr bertemu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Gedung Putih pada Selasa (22/7/2025). Kemudian, Trump mengumumkan mencapai kesepakatan dagang dengan Filipina yang menetapkan tarif sebesar 19% atas ekspor negara tersebut ke AS. Di balik diplomasi yang mendesak ini ialah kompromi besar yang dibuat Pemerintah Filipina dalam menghadapi tekanan kebijakan tarif impor AS yang terus meningkat.
Pada 9 Juli, Trump menaikkan ancaman tarif terhadap barang impor dari Filipina menjadi 20%, naik dari ancaman sebelumnya sebesar 17% pada April. Langkah untuk menaikkan tarif tidak ditujukan hanya untuk Filipina, melainkan merupakan bagian dari strategi tarif resiprokal yang diterapkan AS pada 10 negara ASEAN dengan tujuan mengurangi defisit perdagangan AS melalui meningkatkan tarif impor.
Berikut perbandingan tarif impor AS untuk negara-negara ASEAN:
- Vietnam: 20%.
- Indonesia: 19%.
- Malaysia: 25%.
- Thailand: 36%.
- Filipina: 19%.
- Kamboja: 36%.
- Laos: 40%.
- Myanmar: 40%.
- Brunei: 25%.
- Singapura: 25%.
Menghadapi kebijakan tarif tinggi AS, Board of Investment (BOI) Thailand sedang memperkuat dukungan bagi usaha kecil, memperkuat rantai pasok domestik, dan mendorong investasi di sektor-sektor tertentu untuk mengurangi risiko dari langkah-langkah perdagangan AS. Malaysia mengumumkan untuk mengurangi risiko ketergantungan pada pasar AS dengan diversifikasi perdagangan dan memperkuat ekonomi domestik.
Vietnam dan Indonesia menyelesaikan negosiasi perdagangan dengan AS. Pemerintah Vietnam setuju memberlakukan tarif 40% terhadap barang dari negara ketiga yang hanya transit di Vietnam sebelum masuk ke pasar AS serta membebaskan tarif bagi produk AS. Sebagai imbalan, Vietnam dikenakan 20% tarif dari 46%.
Trump awalnya berencana mengenakan tarif impor sebesar 32% terhadap Indonesia dan akhirnya tarif tersebut diturunkan menjadi 19% setelah negosiasi pihak kedua. Berdasarkan kesepakatan, Indonesia berkomitmen membeli produk energi dari AS senilai US$15 miliar (sekitar Rp244,07 triliun), produk pertanian senilai US$4,5 miliar (sekitar Rp73,2 triliun), serta 50 pesawat Boeing, mayoritas tipe 777. Selain itu, Indonesia berkomitmen menerapkan tarif 0% untuk produk impor AS.
"Tarif 19% untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas 0%, sebenarnya punya risiko tinggi bagi neraca perdagangan Indonesia," ucap Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Ekonom Universitas Andalas (Unand) Syafruddin Karimi mengatakan bahwa kesepakatan dagang AS-Indonesia menempatkan RI dalam posisi yang tidak seimbang. Ketika barang impor menjadi lebih murah karena bebas tarif, pelaku usaha lokal akan menghadapi tekanan besar dan ruang bagi industrialisasi nasional pun semakin menyempit.
Apalagi dalam kerangka kesepakatan ini, Indonesia lebih terlihat sebagai pasar konsumtif yang pasif, bukan mitra dagang yang setara dan berdaulat. (I-2)