TEMPO.CO, Jakarta --Sejumlah pengamat politik menilai pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto sebagai upaya Presiden Prabowo Subianto merangkul semua pihak. Dosen Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta Adi Prayitno mengatakan, alasan pemberian amnesti dan abolisi, seperti dipaparkan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, bisa dilihat sebagai upaya Presiden Prabowo menjaga kondusivitas dan kerja sama semua elemen. “Dari pernyataan ini tersirat bahwa menjaga kondusivitas dan menjaga harmoni jadi argumen mendasar,” kata Adi saat dihubungi pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Adi mengatakan, kasus Tom Lembong dan Hasto menarik perhatian publik karena dinilai kental unsur politiknya daripada unsur hukum. “Kasus ini memantik pembelahan publik cukup ekstrem dan menyerang pemerintah secara terbuka,” ucap Adi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tom merupakan pendukung Anies Baswedan. Sedangkan Hasto merupakan pendukung Ganjar Prabowo. Keduanya merupakan pesaing Prabowo dalam pemilihan presiden 2024. Adi mengatakan, dua tokoh ini mewakili kubu non-pemerintah, sehingga membuat Prabowo perlu membendung gejolak dan huru-hara politik.
Namun Adi tidak melihat pemberian amnesti untuk Hasto sebagai sinyal PDIP akan bergabung pemerintahan Prabowo. “Tak sesederhana itu. PDIP kelihatan ingin di luar, tapi dalam praktiknya PDIP dukung penuh Prabowo,” ujarnya.
Dosen komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan hal yang sama. Hendri menyebutkan, tindakan Prabowo mengandung pesan politik untuk merangkul semua pihak, termasuk lawan politiknya, demi membangun Indonesia yang lebih baik.
Pria yang diakrab Hensa ini menilai, langkah ini upaya Prabowo meredam polarisasi politik yang masih terasa pasca-pemilu. Dengan memilih untuk membebaskan Tom Lembong dan Hasto, ia melihat Prabowo ingin menegaskan bahwa dia adalah pemimpin untuk semua kubu, bukan hanya kelompok tertentu.
Menurut Hensa, gestur ini juga menunjukkan bahwa Prabowo ingin membuka dialog dengan oposisi, terutama PDIP, yang memiliki basis kuat di parlemen dan masyarakat. “Ini bisa jadi modal politik besar untuk menenangkan situasi politik yang panas, sekaligus membuka komunikasi dengan PDIP dan orang-orang yang berada di sekitar Tom Lembong,” ujar Hensa dalam keterangan tertulis pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Namun Hensa memandang pemberian abolisi dan amnesti menimbulkan risiko untuk Prabowo. Pemberian abolisi dan amnesti kepada dua tokoh yang terjerat kasus korupsi bisa memicu persepsi bahwa Prabowo mengorbankan komitmen pemberantasan korupsi demi kepentingan politik. “Meskipun abolisi dan amnesti adalah hak prerogatif presiden, kelompok anti-korupsi dan kritis bisa memandang ini sebagai langkah melemahkan keadilan,” ujar Hensa.
Hensa menilai Prabowo perlu memastikan komunikasi publik yang jelas untuk menghindari persepsi negatif tersebut. Menurut Hensa, jika masyarakat melihat langkah ini sebagai upaya tulus untuk persatuan, Prabowo akan mendapat legitimasi lebih kuat. Sebaliknya, jika publik menganggap ini sebagai manuver politik semata, kepercayaan terhadap pemerintahannya bisa tergerus. “Prabowo sedang bermain di level tinggi. Dia pakai simbol-simbol politik untuk bicara soal persatuan, tapi kalau publik curiga ini cuma akal-akalan, narasi politiknya bisa jatuh,” kata Hensa.
Selain itu, Hensa melihat langkah ini sebagai sinyal kepada elite politik bahwa Prabowo terbuka untuk kolaborasi. Dengan membebaskan Hasto, kata dia, Prabowo seolah mengulurkan tangan kepada PDIP dan Megawati Soekarnoputri. Begitu pula dengan abolisi untuk Tom Lembong, yang bisa menjadi isyarat kepada kelompok profesional dan teknokrat. “Prabowo sedang mencoba bilang, ‘Ayo, kita duduk bareng.’ Tapi, dia juga harus siap kalau ada yang enggak mau diajak, atau malah curiga sama niatnya,” ujar Hensa.