PUSAT Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memblokir sementara rekening dormant atau pasif dari nasabah yang tidak melakukan transaksi selama lebih dari tiga bulan. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan pembekuan rekening pasif ini dilakukan untuk melindungi masyarakat dan sistem keuangan.
Ivan menuturkan PPATK mengidentifikasi sedikitnya 150 ribu rekening pasif disalahgunakan dalam skema tindak pidana pencucian uang (TPPU). “Dari satu juta rekening yang terkait TPPU tahun lalu itu, sekitar 150 ribu merupakan rekening dormant,” ujarnya kepada Tempo saat ditemui di kantornya, Jakarta Pusat, Kamis, 31 Juli 2025.
Rekening dormant yang dimaksud adalah rekening tidak aktif, tidak diperbarui datanya, dan kerap dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya. Ivan menyebutkan situasi itu dimanfaatkan pelaku kejahatan dengan mengambil alih rekening untuk menampung hasil kejahatan, mulai dari judi online, narkotika, hingga korupsi. Temuan tersebut, lanjut Ivan, sudah disampaikan kepada aparat hukum.
Dia mengatakan pemblokiran sementara oleh PPATK dilakukan untuk mencegah lebih jauh penyalahgunaan sistem keuangan oleh jaringan kriminal. Setelah diverifikasi dan dipastikan tidak berkaitan dengan kejahatan, kata dia, rekening tersebut akan dibuka kembali. “Kami tidak merampas. Kami hanya proteksi sementara,” kata Ivan.
Adapun PPATK menyatakan telah membuka kembali akses rekening tak aktif yang sempat diblokir. “Benar (telah dibuka),” ujar Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK M. Natsir Kongah saat dikonfirmasi pada Kamis, 31 Juli 2025. Namun dia tak menjelaskan soal detail proses pembukaan kembali blokir rekening nganggur serta alasannya.
Meski demikian, kebijakan PPATK memblokir rekening pasif tersebut mendapat kritik dari berbagai kalangan.
Celios: Pemblokiran Rekening tanpa Persetujuan Pemilik Adalah Ilegal
Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritik langkah PPATK memblokir rekening tak aktif tanpa persetujuan dari pemilik rekening. Ekonom Celios Nailul Huda mengatakan tindakan pembekuan transaksi itu menyalahi hak-hak konsumen.
“Pembekuan ataupun penutupan harus persetujuan dari pemilik rekening. Tanpa persetujuan konsumen, PPATK melakukan hal yang ilegal,” kata Huda lewat keterangan resmi yang dikutip pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Berdasarkan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Kata dia, ada aturan yang memperbolehkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memblokir rekening yang terindikasi ada transaksi mencurigakan. “Tapi itu bukan ranah PPATK. Itu yang harus dipahami oleh PPATK terkait hak warga negara,” ujar Huda.
Dia menuturkan PPATK juga harus memeriksa dulu apakah rekening memang digunakan untuk hal yang negatif. Karena ada beberapa alasan yang menyebabkan rekening tak aktif. Misalnya, pemiliknya terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sehingga tak ada transaksi.
Konsumen juga menanggung kerugian biaya yang ditimbulkan dari adanya pemblokiran rekening ini. Ada biaya transportasi termasuk parkir dan waktu yang harus dikeluarkan oleh konsumen untuk mengambil kembali haknya. Belum lagi biaya tak langsung ditimbulkan dari transaksi yang tertunda akibat tindakan ini.
Karena itu, Huda mengatakan pembekuan rekening dormant seharusnya dihentikan karena hanya merugikan masyarakat maka sudah sewajarnya harus dicabut. “Rekening itu hak nasabah sebagai konsumen, bukan hak dari PPATK,” kata Huda.
Ekonom Indef: PPATK Tak Punya Kewenangan Langsung Blokir Rekening
Ekonom senior Indef sekaligus sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik Rachbini, menilai langkah PPATK memblokir rekening pasif menyalahi tugas dan fungsi PPATK.
Menurut Didik, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tugas dan fungsi PPATK memang secara umum mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Jika ada laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), maka PPATK bekerja sama dengan melaporkan kepada aparat hukum.
Namun, kata dia, PPATK bukan aparat yang bisa bertindak sendiri dengan memblokir secara masif akun-akun yang dianggap terindikasi tersebut. “Ini sebenarnya menyalahi tugas dan fungsi PPATK sendiri,” ucap Didik lewat keterangan resmi pada Kamis, 31 Juli 2025.
Didik mengatakan tugas dan fungsi PPATK bersifat tidak langsung dalam hal penindakan, yakni memberikan rekomendasi hasil analisis kepada penyidik, jaksa, atau hakim. Selanjutnya, aparat hukum yang berwenang menentukan apakah rekening nasabah bisa diblokir atau tidak. “PPATK tidak memiliki kewenangan langsung untuk memblokir rekening nasabah bank,” kata dia.
YLKI Minta Kebijakan PPATK Blokir Rekening Pasif Tak Persulit Konsumen
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta pemblokiran rekening bank oleh PPATK dilakukan secara selektif. “Karena menyoal keuangan sangat sensitif, apalagi jika rekening yang diblokir merupakan tabungan konsumen yang sengaja diendapkan untuk keperluan dan jangka waktu tertentu,” ujar Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo pada Selasa, 29 Juli 2029.
YLKI juga meminta PPATK memberi informasi yang jelas kepada konsumen tentang rencana pemblokiran rekening tersebut. Begitu juga dengan langkah-langkah yang bisa ditempuh konsumen ketika terkena pemblokiran. Dengan informasi ini, hak dasar konsumen dapat dipenuhi oleh PPATK.
Rio mengimbau agar kebijakan PPATK tersebut tidak mempersulit konsumen. “Mereka harus menjamin uang konsumen tetap utuh dan aman tak kurang sepeser pun atas pemblokiran yang dilakukannya.”
Untuk itu, Rio meminta PPATK membuka hotline crisis center bagi konsumen yang ingin mencari informasi maupun melakukan pemulihan atas rekening bank yang diblokir.
DPR Pertanyakan Urgensi Pemblokiran Rekening Pasif
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Hinca Pandjaitan mengatakan akan memanggil PPATK mengenai pembekuan sementara transaksi rekening pasif. Politikus Partai Demokrat ini menyebutkan belum mendapat informasi detail mengenai langkah PPATK itu.
Hinca menyebutkan Komisi Hukum DPR itu akan meminta penjelasan PPATK seusai masa reses berakhir pada Agustus nanti. “Apa yang disampaikan PPATK mungkin maksudnya baik ya, tapi karena saya belum mendapatkan informasi yang utuh, ini pasti isu yang sangat sensitif dan menarik (perhatian) publik, pasti akan bereaksi gitu,” kata Hinca di kompleks parlemen pada Senin, 28 Juli 2025.
Dia mempertanyakan urgensi pembekuan rekening pasif oleh lembaga intelijen keuangan tersebut. Menurut dia, PPATK harus menjelaskan dasar, latar belakang, hingga tujuan pembekuan rekening itu secara rinci.
Setelah masa reses berakhir, Hinca memastikan komisinya bakal menggelar rapat kerja dengan PPATK. “Kami akan menanyakan kebijakan ini, apa goal-nya, mengapa, latar belakangnya apa, sehingga publik mendapatkan informasi yang cukup lah. Apa sih dasarnya dan seterusnya,” tutur Hinca.
Dia juga menyoroti PPATK hanya mengumumkan kebijakan ini di akun media sosialnya. Dia menegaskan masyarakat penting untuk mengetahui rencana lembaga itu. “Saya ingin minta PPATK jelaskan secepatnya lah. Kalau nanti nunggu di Komisi III kelamaan, saya kira lewat teman-teman (media), saya minta PPATK jelaskan ke publik secepatnya sehingga publik mengerti,” kata Hinca.
Intan Setiawanty, Ilona Estherina, Amelia Rahima Sari, dan Jihan Ristiyanti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Terpidana yang Dapat Amnesti, Abolisi, dan Grasi di Era Jokowi