FORUM Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencatat setiap anggota DPR bisa menerima sekitar Rp 2,8 miliar per tahun dari tunjangan dan gaji serta alokasi anggaran lain.
Peneliti FITRA Bernard Allvitro mengatakan alokasi gaji dan tunjangan anggota DPR RI berdasarkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2025 mencapai angka fantastis, yakni lebih dari Rp 1,6 triliun untuk 580 anggota. “Jika dirata-ratakan, setiap anggota menerima sekitar Rp 2,8 miliar per tahun atau lebih dari Rp 230 juta per bulan,” kata dia dikutip dari keterangan tertulisnya, Senin, 25 Agustus 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Bernard mengatakan gaji dan tunjangan stabil anggota DPR di atas Rp 1 triliun dalam tiga tahun terakhir justru menjadi beban fiskal rakyat. Apalagi saat pemerintah melakukan efisiensi besar-besaran terhadap anggaran publik pada 2024 dan 2025, anggota DPR malah memperoleh tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan per orang.
“Fakta ini menunjukkan DPR RI minim sense of crisis dan empati terhadap kondisi anggaran negara yang tengah tertekan,” kata Bernard.
Berdasarkan Surat Sekretariat Jenderal DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024, setiap anggota dewan berhak menerima tunjangan rumah. Sehingga total penghasilan bulanan mereka langsung naik menjadi lebih dari Rp 100 juta. Dengan jumlah anggota sebanyak 580 orang, negara harus menanggung biaya sekitar Rp 29 miliar setiap bulan atau setara Rp 1,74 triliun selama lima tahun masa jabatan.
Ketentuan mengenai gaji pokok dan tunjangan DPR diatur melalui Surat Edaran Sekretaris Jenderal DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015, serta Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000.
Peneliti FITRA Siska Baringbing mengatakan besaran gaji pokok berbeda sesuai jabatan, dan jika dilihat nominalnya saja, penghasilan pokok anggota DPR relatif kecil, hampir setara dengan PNS golongan menengah. “Namun gaji pokok hanyalah sebagian kecil dari total pendapatan,” kata Siska.
Siska menuturkan anggota dewan juga menerima berbagai tunjangan sesuai jabatan, seperti tunjangan jabatan, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, serta fasilitas lain seperti uang sidang, asisten anggota, listrik, telepon, hingga tunjangan beras. Akumulasi dari seluruh komponen ini membuat pendapatan bulanan anggota DPR mencapai Rp 55–66 juta.
Selain itu, anggota DPR mendapat tunjangan serap aspirasi melalui reses. Siska mengatakan setiap tahun anggota DPR berpotensi mendapatkan Rp 4,2 miliar untuk menunjang kegiatan reses. Dalam DIPA DPR, total pagu anggaran untuk tunjangan serap aspirasi melalui reses yang diterima oleh anggota DPR RI Tahun 2023-2025 rata-rata Rp 2,4 triliun. Jika dibagikan jumlah anggota DPR sebanyak 580 orang, setiap anggota DPR mendapatkan sekitar Rp 4,2 miliar.
Siska merinci anggaran ini dilakukan melalui 4 jenis kegiatan, yaitu kunjungan kerja di luar masa reses dan di luar sidang DPR (8 kali setahun); kunjungan kerja pada masa reses (5 kali setahun); kunjungan kerja pada masa reses atau pada masa sidang (1 kali setahun); dan rumah aspirasi anggota DPR.
Tahun 2025, total pagu untuk empat jenis kegiatan reses tersebut adalah sekitar Rp 2,4 triliun. Rincian untuk masing-masing anggota DPR adalah Rp 1,4 miliar untuk kunjungan kerja di luar masa reses dan di luar sidang; Rp 2,3 miliar untuk kunjungan kerja pada masa reses; Rp 242 juta untuk kunjungan kerja pada masa reses atau pada masa sidang; dan Rp 150 juta untuk rumah aspirasi.
“Dengan tunjangan sebesar ini maka seharusnya DPR dapat menyerap berbagai aspirasi rakyat di setiap dapilnya,” kata Siska.
Namun Siska menduga penyerapan aspirasi oleh DPR tidak maksimal melihat banyaknya permohonan pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi
Pada 2023, Badan Pemeriksa Keuangan memberikan catatan terkait biaya konsumsi untuk berbagai kegiatan kunjungan kerja seperti dan kunjungan kerja dalam rangka penyerapan aspirasi masyarakat pada masa reses. Siska memaparkan, dalam laporan tersebut BPK memberikan c\atatan belum adanya keseragaman terkait penyampaian pertanggungjawaban belanja biaya konsumsi.
“Dengan pemberian biaya kegiatan secara lumpsum membuat pertanggungjawaban kurang akuntabel,” ucap Siska. “Sehingga BPK meminta pejabat terkait membuat sistem pengawasan dan pengendalian (membuat pedoman agar efektif dan efisien).”
Atas banyaknya permasalahan di atas, FITRA merekomendasikan Presiden, DPR dan Menteri Keuangan untuk meninjau ulang peningkatan anggaran DPR. Menurut FITRA, anggaran yang digelontorkan harus disesuaikan dengan kebutuhan riil dan kinerja yang terukur, bukan sekadar bertambah akibat penambahan jumlah kursi.
FI\TRA juga mendesak penghentian penambahan fasilitas baru yang membebani APBN. Menurut Siska, skema gaji atau tunjangan perlu dikaitkan dengan kinerja dan kedisiplinan anggota DPR. “Hilangkan belanja yang dinilai memboroskan keuangan negara,” kata dia.
FITRA juga meminta akuntabilitas tunjangan reses. Siska mengatakan Kepala Biro Umum DPR harus membuat standar pertanggungjawaban yang jelas dan transparan, agar belanja reses benar-benar berdampak pada penyerapan aspirasi rakyat, bukan sekedar formalitas.