AKTIVIS Social Movement Institute (SMI), Eko Prasetyo, dan aktivis Gejayan Memanggil, Herlian Septianto, mendapat teror berupa doxing dalam bentuk selebaran poster di Yogyakarta.
Poster itu memuat foto Eko dan Herlian bertulisan tangkap Eko Prasetyo Social Movement Institute koruptor lembaga filantropi. Selebaran itu juga mencantumkan nomor WhatsApp Herlian. Di bagian pojok kanan poster terdapat gambar borgol.
Pendiri SMI, Eko Prasetyo, mengatakan pada Jumat, 22 Agustus 2025, aktivis SMI menemukan lima poster itu terserak di gang depan kantor SMI yang beralamatkan di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Kertas pada poster itu terlihat setengah basah dengan selotip bolak-balik. “Peneror melempar poster. Ini alarm bagi kebebasan sipil,” kata Eko saat dihubungi Tempo pada Ahad, 24 Agustus 2025.
Eko menduga teror ini berhubungan dengan berbagai aktivitas diskusi SMI yang mengkritik pemerintah. Indikasinya, menurut Eko, pola serupa dalam teror sebelumnya. Peneror, kata dia, menebar ketakutan terhadap aktivis SMI dan warga di sekitar sekretariat SMI.
Dia bercerita enam tahun lalu, SMI mendapat teror ketika menyuarakan isu kejahatan terhadap korban peristiwa 1965. Saat itu, SMI hendak memperpanjang sewa rumah kontrakan dengan alamat yang berbeda dengan yang sekarang. Peneror menekan sejumlah tokoh masyarakat di sekitar rumah kontrakan tersebut. Pola yang sama sekarang terulang. SMI kali ini hendak memperpanjang sewa rumah kontrakan ketika teror itu datang.
SMI merupakan organisasi non-pemerintah yang beranggotakan aktivis hak asasi manusia yang aktif berdemonstrasi memprotes berbagai kebijakan pemerintah yang merugikan publik. Belum lama ini, SMI aktif berdemonstrasi dan menggelar diskusi menolak revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) karena tak melibatkan partisipasi publik.
Pada 9 Agustus 2025, mereka mengundang Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej berdebat tentang RKUHAP dengan aktivis hak asasi manusia Haris Azhar di Auditorium Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia di Jalan Cik Di Tiro, Yogyakarta.
Mereka juga rutin menggelar aksi Kamisan bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menuntut pemerintah menyelesaikan pelanggaran serta kejahatan HAM melalui berbagai unjuk rasa dan diskusi.
SMI juga dikenal kerap memprotes Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia. Pada 20 Maret 2025, ketika berlangsung demonstrasi menentang Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia, muncul spanduk putih bergambar empat aktivis penolak RUU TNI di tempat parkir umum di Jalan Abu Bakar Ali, Yogyakarta. Salah satu di antara aktivis itu adalah Eko Prasetyo. Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi titik pertemuan ratusan pengunjuk rasa yang sebagian berasal dari kalangan mahasiswa berbagai kampus tak jauh dari tempat parkir itu.
Sejumlah aktivis yang sedang bersiap menuju kantor DPRD saat itu kaget oleh spanduk putih dengan tulisan berkelir merah yang berbunyi awas gerakan mahasiswa disusupi antek asing. Wajah aktivis Eko Prasetyo diberi tanda silang merah dalam spanduk itu.
Eko menyatakan teror terhadap masyarakat sipil yang makin intens membelenggu ruang demokrasi yang makin menyempit. SMI, kata Eko, tidak tunduk pada teror yang menjadikan Indonesia mengalami kemunduran demokrasi. Dia mengutip aktivis Wiji Thukul: jika kau menghamba pada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan. “Makin represif membuat kami makin bergerak melawan dan militan,” kata Eko.
Setelah mendapat teror itu, aktivis SMI, menurut Eko, menghubungi Herlian, aktivis Gejayan Memanggil, yang terkena doxing. Herlian yang kaget kemudian mendatangi sekretariat SMI. “Doxing itu sangat merugikan dan saya tak tahu motif peneror,” katanya.
Herlian aktif dalam berbagai demonstrasi Jogja Memanggil. Contohnya demonstrasi menuntut pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membatalkan revisi UU Pemilihan Kepala Daerah pada Agustus 2024. Kini, mahasiswa S-2 Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu sedang merampungkan tesis tentang proyek strategis nasional di Nusa Tenggara Timur.
Pilihan Editor: LBH Pers Desak Polri Transparan dan Serius Tuntaskan Kasus Teror Tempo