Liputan6.com, Jakarta Film keluarga terbaru berjudul Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah hadir membawa premis yang jarang diangkat, yakni pertanyaan "bagaimana jika" terhadap pilihan hidup orang tua di masa lalu. Pertanyaan sederhana ini memantik rasa penasaran yang dalam sekaligus mengajak penonton menelusuri kembali arti pengorbanan dan kebahagiaan dalam keluarga.
Kisahnya berfokus pada Alin, mahasiswi kedokteran yang harus pulang ke rumah karena beasiswanya terancam, lalu menemukan buku harian ibunya yang penuh dengan mimpi dan kenangan masa muda. Dari titik inilah, narasi mengalir dengan konflik keluarga yang kompleks, ayah yang jarang ada di rumah, hingga kakak dan adik yang mengorbankan diri demi bertahan.
Di balik ceritanya, film ini bukan sekadar drama rumah tangga, melainkan refleksi yang membuka ruang diskusi tentang empati, pemahaman, dan peran tiap anggota keluarga. Tak hanya itu, kehadiran bintang papan atas hingga strategi promosi emosional membuat film ini semakin layak untuk ditunggu di layar bioskop.
1. Alur Penuh Refleksi dari Temuan Buku Harian
Alin pulang ke rumah ketika beasiswa kedokterannya terancam dicabut, dan ia mendapati keluarga yang semakin kesulitan ekonomi dengan ayah yang jarang hadir. Dalam kondisi penuh tekanan itu, ia tanpa sengaja menemukan buku harian ibunya.
Isi buku harian tersebut menyingkap mimpi-mimpi masa muda sang ibu, yang seakan terkubur setelah keputusan menikah dan membangun keluarga. Potongan kisah pribadi itu membuat Alin bertanya-tanya, bagaimana jika ibunya tidak mengambil jalan tersebut.
Pertanyaan itu pun memengaruhi cara Alin melihat kehidupannya sendiri, termasuk hubungannya dengan Irfan, sang kekasih, sehingga narasi menjadi refleksi lintas generasi yang dalam.
2. Bukan Sekadar Mengkritik Ayah, Tapi Mengajarkan Empati
Meski menyoroti sosok ayah yang sering absen dari rumah dan menyinggung isu fatherless, film ini sama sekali bukan dibuat untuk menumbuhkan kebencian. Judul yang menonjolkan sosok ibu justru diarahkan untuk memunculkan empati yang lebih luas.
Penonton diajak memahami isi hati masing-masing anggota keluarga, baik ayah, ibu, maupun anak, bahwa setiap orang memiliki beban dan cara menghadapi masalahnya sendiri. Dari situ, pesan yang ingin disampaikan adalah pentingnya berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan.
Pendekatan ini menjadikan film tidak jatuh pada narasi menyalahkan, melainkan menawarkan perspektif yang lebih manusiawi dan relevan bagi siapa saja yang pernah merasakan retaknya komunikasi dalam keluarga.
3. Ide Skenario yang Berawal dari Pertanyaan Pribadi
Penulis naskah Evelyn Afnilia menggali ide film dari pengalamannya pribadi ketika merasakan jarak generasi yang cukup jauh dengan sang ibu. Ia bertanya-tanya tentang kehidupan masa lalu ibunya, mimpi yang pernah ada, dan pengorbanan yang dilakukan.
Rasa penasaran itu kemudian diperkuat dengan riset dan observasi terhadap lingkungan sekitar. Ia menemukan bahwa banyak anak tidak benar-benar mengetahui cerita masa muda orang tuanya, termasuk harapan dan cita-cita yang mungkin terhenti di tengah jalan.
Dari hasil riset inilah lahir kisah yang autentik, membumi, dan mudah dikaitkan dengan realitas banyak keluarga di Indonesia, sehingga menjadikan film ini memiliki relevansi sosial yang kuat.
4. Strategi Promosi yang Menggugah Emosi Penonton
Rapi Films sebagai rumah produksi memilih jalur promosi yang unik dengan menghadirkan akun Instagram khusus untuk film ini. Konten promosi menampilkan sudut pandang berbeda, baik dari sisi anak maupun ibu, yang membuat audiens diajak merefleksikan perannya masing-masing dalam keluarga.
Unggahan promosi berupa surat emosional antara anak dan ibu menjadi daya tarik tersendiri. Dari sana, calon penonton sudah disuguhi nuansa reflektif bahkan sebelum film dirilis.
Pendekatan promosi digital yang menekankan emosi berhasil mencuri perhatian publik, membangun keterikatan personal dengan cerita, serta meningkatkan antusiasme jelang penayangan.