
AMAD, salah satu pelaku sejarah peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya tahun 1945 silam, saat ini sudah berusia 103 tahun. Amad hidup dari uang pensiunan TNI Angkatan Darat sebesar Rp2,4 juta.
Ditemui di rumah anaknya di Perumahan Putri Juanda, Desa Pepe Kecamatan Sidoarjo, Selasa sore (19/8), kakek Amad masih terlihat sehat. Mata pria kelahiran 7 Februari 1922 ini masih berbinar mengenang masa perjuangannya dulu. Cerita heroik pun mengalir lancar darinya.
Saksi Perobekan Bendera Belanda
Pria yang memiliki 12 anak, tiga di antaranya sudah meninggal, ini adalah salah satu pelaku sejarah peristiwa perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya, pada 19 September 1945 silam. Saat peristiwa heroik tersebut, Amad yang memasang tangga untuk naik ke atas hotel tempat bendera Belanda dikibarkan.
"Saya hanya memasang tangga, lalu ada anak-anak itu yang naik dan merobek bendera Belanda," kata Amad.
Kenangan Bersama Bung Tomo
Amad juga diketahui sahabat akrab Bung Tomo saat masa perang kemerdekaan. Mereka sering pergi bersama bersembunyi dari kejaran tentara Belanda.
"Bung Tomo itu dulu yang membangkitkan semangat arek-arek Suroboyo, dalam perang 10 November 1945," kata Amad.
Amad diketahui pernah bergabung di Tentara Jepang Heiho, dan Polisi Istimewa bentukan Jepang. Kakek dengan 31 cucu ini kemudian menjadi anggota Badan Keamanan Rakyat, yang merupakan cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Penugasan Selama Aktif Menjadi Tentara
Amad pernah dikirim ke Tomohon, Sulawesi Utara, untuk menumpas pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia), dan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta). Saat itu dia baru beberapa bulan menikah, sudah harus meninggalkan istri di Lumajang karena tugas.
Semenjak itu dia tidak melihat istrinya lagi karena perempuan yang dicintainya meninggal dunia. Sebelumnya, Amad juga pernah dikirim ke Sulawesi Selatan, saat peristiwa pembantaian Westerling.
Amad juga menceritakan pengalaman hidup yang tidak terlupakan tahun 1948. Saat itu dia dan empat temannya ditangkap Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) di kawasan Ngrajek, Kabupaten Nganjuk.
"Satu teman saya dipenggal saat itu," kata Amad.
Beruntung, Amad dan sisa tiga temannya dibawa dan ditahan di Kertosono. Selanjutnya mereka diantar ke Kalisosok, Surabaya, dan ditahan empat bulan di sana.
Amad menjadi anggota TNI Angkatan Darat dengan pangkat Prada, hingga pensiun tahun 1978 dengan pangkat tetap Prada. Saat itu uang pensiunnya hanya Rp175 ribu, hingga menjadi Rp2,4 juta per bulan saat ini.
"Saya masuk tentara pangkat Prada, hingga pensiun tetap Prada, saya ini buta huruf tidak bisa baca tulis," kata Amad.
Amad pernah menjadi sopir Sarwo Edhie Wibowo tahun 1952. Sarwo Edhie adalah tokoh militer yang punya peran penting saat penumpasan G30S PKI. Sarwo Edhie juga merupakan ayah Ani Yudhoyono, istri mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Makanya setiap ke Jakarta saya sempatkan ziarah ke makam Ibu Ani," kata Amad.
Di usia lebih dari satu abad, tidak ada lagi teman sebaya Amad, karena semua sudah wafat. Amad mengaku sangat ingin bertemu orang yang hidup pada masa perjuangan dulu agar bisa saling cerita.
Amad menikah tiga kali. Setelah istri pertama meninggal dunia, dia menikah dengan perempuan Manado. Perempuan yang dinikahi itu ternyata teman ibunya Prabowo Subianto di rumah sakit. Istri keduanya itu juga sudah meninggal dunia. Kini Amad hidup dengan istri ketiga yang berusia lebih dari 51 tahun.
Sedih Mendengar Berita Korupsi
Saat mengingat masa perjuangan kemerdekaan, Amad mengaku sedih dan geram, apabila mendengar berita kasus korupsi di Indonesia. Dia berharap pemerintahan Presiden Prabowo berani tegas terhadap para koruptor yang memakan uang rakyat.
Berbagai penghargaan sudah didapatkan Amad, sebagai veteran pejuang kemerdekaan. Salah satunya adalah Bintang Gerilya, bintang penghargaan tertinggi karena perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. (HS/E-4)