INFO NASIONAL – Badan legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) masih terus melakukan pendalaman terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP). Penyusunan ini merupakan upaya meningkatkan payung hukum BPIP dari level peraturan presiden (Perpres) menjadi UU. Peningkatan payung hukum ini dinilai dibutuhkan BPIP untuk memperkuat lembaga yang berdiri berdasarkan Perpres Nomor 7 Tahun 2018 ini.
“Sebagai falsafah dan ideologi bangsa, sudah seharusnya masalah introduksi, edukasi, sosialisasi, dan internasilasi Pancasila diatur di dalam undang-undang,” kata Ketua PP Muhammadiyah bidang Ekonomi, Bisnis, dan Industri Halal, Muhadjir Effendy kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya meningkatkan payung hukum BPIP menurut Peneliti Utama Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, antara lain guna memperkuat kembali pemahaman terkait sila-sila Pancasila di tengah masyarakat. Dia melihat, lunturnya pemahaman masyarakat akan sila-sila maupun nilai-nilai Pancasila terkait erat dengan mencuatnya beberapa permasalahan yang berujung tidak adanya sosok yang bisa dijadikan teladan berperilaku bagi masyarakat. “Kalau diperbanyak teladan, masyarakat tidak kehilangan arah untuk mencontoh," kata Siti yang juga Pengajar Pascasarjana di Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Peneliti Ahli Utama BRIN Siti Zuhro. Dok. ANTARA/HO-UMM
Oleh karena itu, upaya pembentukan UU BPIP yang kini masih dirumuskan rancangan undang-undangnya oleh Baleg harus bisa revolusioner. "Bagaimana membumikan (Pancasila), siapa yang membumikan. Masyarakat jangan hanya dicekoki, apa konkretnya? Sehingga tidak mengawang-awang," kata profesor riset bidang politik dan pemerintahan ini.
Termasuk, lanjut dia, terobosan yang perlu menjangkau sekolah-sekolah seiring upaya penguatan pemahaman Pancasila juga harus dilakukan di lembaga pendidikan formal. Siti lantas mendorong, lima sila Pancasila diturunkan secara nyata oleh BPIP. Sebagai contoh, sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan religiusitas warga negara.
"Kemudian, (sila kedua) Kemanusiaan Yang Adil Beradab itu dalam maknanya, lalu sila ketiga apa yang bisa diturunkan dari Persatuan Indonesia, (misalkan) menyangkut prinsip hidup berdampingan secara damai, tak ada lagi politisasi toleransi, politisasi identitas hanya untuk kepentingan berkuasa," kata Siti.
Apabila disahkan, UU BPIP juga harus memastikan tak memunculkan pro dan kontra. Maka, masyarakat harus diberi pemahaman memadai mengenai UU tersebut. Dia pun mendorong pembahasan RUU BPIP melalui sosialiasasi dan kajian mendalam mengenai relevansi, signifikansi, urgensi hingga aspek menyangkut dampak-dampak yang akan ditimbulkan.
Pembahasan naskah akademik menyangkut upaya merumuskan RUU BPIP juga harus didiskusikan melibatkan pakar - pakar terkait. Pihak perguruan tinggi juga dilibatkan untuk memberikan kontribusi pemikiran kepada Baleg DPR dalam merumuskan RUU BPIP.
Siti Zuhro pun berpesan agar pembahasan mengenai perumusan RUU BPIP tak tergesa-gesa lantaran bersinggungan langsung dengan ideologi negara. "Jadi harus ada kedalaman tidak disembunyi-sembunyikan, apa kepentingan ini diundang-undangkan dan harus ada sense of belonging atau rasa memiliki. Bukan punya BPIP saja karena usernya masyarakat luas, ada keterlibatan sejak awal," kata Siti. (*)