
Draf Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) berpotensi bertentangan dengan UU KPK. Celakanya, bisa menggerus asas 'Lex Specialis Derogat Legi Generali' yang artinya 'hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum'.
Potensi pertentangan tersebut mencuat dalam Pasal 329 dan 330 RKUHAP, dalam draft per tanggal 10 Juli 2025.
"Jika berkaca dari asas lex specialis derogat legi generali, maka sesungguhnya UU KPK, UU Tipikor, dan UU Pengadilan Tipikor yang seharusnya digunakan," demikian keterangan bersama Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi, kepada wartawan, Rabu (23/7).

Jika dicermati, bahasa yang digunakan dalam Pasal 329 mengatur soal 'Penyidik Tertentu' dalam hal ini termasuk KPK. Jadi saat KUHAP baru disahkan, maka yang digunakan adalah KUHAP tersebut.
Kemudian dalam Pasal 330, disebut pada saat KUHAP baru disahkan, maka segala upaya paksa juga merujuk kepada KUHAP itu.
"Meskipun terdapat asas lex specialis tersebut, perlu diingat bahwa terdapat asas lain, yakni lex posterior derogat legi priori (hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama)," kata koalisi.
"Bunyi Pasal tersebut lebih mencerminkan keberlakuan aturan yang baru dibanding dengan prinsip yang seharusnya. Ketentuan peralihan inilah yang menjadi pintu dari seluruh masalah berikutnya yang ada di dalam RKUHAP," sambungnya.
Secara prinsip, menurut koalisi, seharusnya penanganan tindak pidana korupsi dikhususkan. Namun, bunyi dari dua Pasal ini justru bertentangan dengan semangat yang tengah dibangun untuk penanganan tindak pidana korupsi, terutama oleh KPK.
Penyempitan Ruang Gerak
Peneliti ICW Tibiko Zabar bicara soal potensi penyempitan ruang gerak akibat RKUHAP, seperti terhadap operasi tangkap tangan (OTT).
"Karena definisi penyelidikan dalam UU KPK dan draft RKUHAP versi pemerintah berbeda," kata dia.
"Selama ini proses upaya tangkap tangan KPK dilakukan dengan sejumlah tahapan dan itu masuk pada tahap penyelidikan, di mana di UU KPK penyelidikan dilakukan dengan berdasarkan minimal dua alat bukti," kata dia.
Belum lagi definisi ini, kata dia, juga berpengaruh kepada hal lain. Di RKUHAP penyadapan masuk pada penyidikan, dan dengan harus izin ketua pengadilan. Sementara di KPK selama ini proses itu masuk pada tahap penyelidikan dan diberitahukan kepada Dewan Pengawas.
Bisa Kiamat

Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Hibnu Nugroho, menilai RKUHAP harus mengecualikan hukum acara di UU KPK. Sebab, UU KPK lex specialis.
"Iya itu memang harusnya dikecualikan, jadi KUHAP ini harusnya politik hukumnya terhadap hukum acara KPK yang sudah ditentukan, dikecualikan harusnya gitu," kata Hibnu saat dihubungi, Rabu (23/7).
Hibnu mengatakan, jika RKUHAP saat ini disahkan, maka akan menggerus kinerja KPK. Salah satunya terkait dengan OTT.
"Kalau itu memang nanti berlaku semua, ya memang KPK enggak bisa apa-apa. Betul itu, OTT menjadi berkurang, bahkan sulit," kata dia.
"Karena kekhususan KPK itu adalah justru di dalam penyelidikan itu mengumpulkan barang bukti, sebagai asas cepat, gitu," sambungnya.
Dalam draf RKUHAP proses penyadapan dilakukan pada tahap penyidikan. Padahal, dalam OTT KPK, penyadapan dilakukan pada proses penyelidikan.
Berikut bunyi aturan penyadapan saat penyidikan di draft RKUHAP:
Lantas, apa yang harus dilakukan Komisi III DPR RI dalam menyusun RKUHAP demi mendukung kinerja KPK?
"Itu lex specialis-nya, ya, dikecualikan. Jadi di KUHAP itu harus mengatur, dikecualikan terhadap KPK atau lembaga yang sudah diatur tersendiri, harusnya seperti itu," kata dia.
"Tapi kalau tidak, ya kiamat artinya, maksudku seperti itu, kiamat. Artinya kewenangan-kewenangan dalam lidik untuk kumpulkan bukti udah enggak ada. Gitu lho. Benar KPK rontok itu," ujarnya.