Jakarta -
Kelas menengah di Indonesia kesulitan mendapatkan rumah layak huni. Hal itu terungkap dalam Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) seri Analisis Makroekonomi Indonesia Economic Outlook triwulan III-2024.
Peneliti LPEM UI Teuku Riefky mengatakan pihaknya mengukur tingkat kesejahteraan kelas menengah dan calon kelas menengah di Indonesia berdasarkan 3 aspek nonmoneter yakni akses ke air minum, sanitasi dan tempat tinggal. Hasilnya kualitas akses air minum dan sanitasi cenderung membaik selama 2014-2023, namun kedua kelompok itu masih meghadapi isu serius terkait kualitas tempat tinggal.
"Walaupun kondisi hidupnya membaik untuk aspek air minum dan sanitasi, kedua kelompok ini masih menghadapi isu serius terkait kualitas tempat tinggal," kata Riefky dalam laporan terbaru LPEM UI, dikutip Jumat (9/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai catatan, LPEM mengambil standar kelayakhunian rumah dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mengenai tempat tinggal dengan kualitas atap, tembok atau lantai yang buruk.
Mengacu pada standar itu, tercatat sebanyak 40,8% kelas menengah masih memiliki kualitas tempat tinggal yang buruk di 2014. Dalam waktu 10 tahun, kondisi itu tak banyak berubah karena pada 2023 jumlah kelas menengah yang tinggal di rumah tak layak masih berada di level 39,9%.
Keadaan yang lebih buruk dialami kelompok calon kelas menengah. LPEM UI mencatat 52,7% penduduk calon kelas menengah memiliki tempat tinggal yang buruk di 2023, meningkat dari 51,5% di 2014.
"Secara garis besar, calon kelas menengah dan kelas menengah tidak mengalami peningkatan kesejahteraan secara signifikan dari segi nonmoneter. Saat ini sekitar 48,7% kelas menengah tidak memiliki kualitas yang baik paling tidak di salah satu aspek nonmoneter, naik sedikit dari 48,4% dibandingkan satu dekade lalu," bebernya.
Meskipun tidak masuk golongan miskin atau rentan, hal itu membuktikan bahwa kelas menengah dan calon kelas menengah bukan berarti berkecukupan dalam dimensi kesejahteraan. Kombinasi kualitas hidup yang buruk ini dinilai dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting.
Menurutnya, kebijakan harus berfokus pada peningkatan akses terhadap perumahan yang terjangkau melalui subsidi, pinjaman berbunga rendah dan pengembangan proyek-proyek perumahan yang terjangkau. Selain itu, aspek kualitas hidup lainnya seperti akses terhadap air bersih dan sanitasi harus berjalan seiring dengan perbaikan kondisi perumahan.
Sebelumnya, kondisi daya beli dan kesejahteraan kelas menengah di Indonesia mendapatkan sorotan. Sejumlah ekonom termasuk dari LPEM UI memperkirakan jumlah kelas menengah di Indonesia terus mengalami penyusutan.
Pada 2023, kelas menengah di Indonesia mencakup sekitar 52 juta jiwa dan mewakili 18,8% dari total populasi. Penduduk kelas menengah telah turun hingga 8,5 juta jiwa dari 2018-2023.
(aid/rrd)