Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor kerap kali menuai perdebatan di publik karena dipandang rawan menjadi alat kriminalitas. Pasal tersebut mengatur soal pidana terkait kasus korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara.
Bahkan pasal tersebut menuai sorotan dari negara lain dalam forum United Nations Convention againts Corruption (UNCAC). Peer group dalam forum UNCAC turut merekomendasikan penguatan dan perbaikan ketentuan unsur dalam pasal tersebut.
Pimpinan KPK periode 2007-2012 Chandra Hamzah menyebutkan, bahwa unsur kerugian negara dalam kedua pasal tersebut justru mempersempit ruang lingkup dalam pemberantasan korupsi.
Bahkan, kemudian unsur kerugian negara dalam pasal itu direkomendasikan untuk dihapus.
"Rekomendasinya consider reasseing to remove, UNCAC merekomendasi untuk me-remove," ujar Chandra dalam seminar Lembaga Kajian Keilmuan FHUI bersama Katadata Insight Center bertajuk ‘Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi’ di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, Kamis (14/11).
Selanjutnya, pada pasal 3 UU Tipikor, direkomendasikan untuk melakukan revisi. Disarankan untuk mengganti kata "Setiap Orang" dengan kata "Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara" serta menghapus frasa "yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
Lantas, bagaimana caranya negara untuk memulihkan kerugian keuangan dari adanya tindak pidana korupsi?
Chandra Hamzah menyebut bahwa penuntut umum bisa menerapkan pidana tambahan dengan menggunakan Pasal 18 UU Tipikor.
"Terdakwa dapat dijatuhi hukuman pidana tambahan berdasarkan Pasal 18UU Tipikor, yaitu berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi," kata Chandra.
Selain itu, ia juga menyarankan terdakwa korupsi tidak dituntut dengan hukuman pidana pengganti alias subsider. Sehingga tidak ada pilihan dengan hanya menjalani pidana pokok.
"Terdakwa jangan dituntut hukuman pidana penjara pengganti," ujar Chandra.