Jakarta (ANTARA) - Chief Indonesia and India Economist HSBC Global Research Pranjul Bhandar memandang penurunan penanaman modal asing (foreign direct investment/FDI) yang terjadi belakangan ini dipicu ketidakpastian global dan dialami banyak negara, tidak hanya Indonesia.
Ia mencatat pelemahan FDI dalam beberapa bulan terakhir terjadi di banyak negara, terutama pasar negara berkembang. Dengan ketidakpastian perdagangan dan tarif yang tinggi, banyak korporasi enggan untuk menanamkan modal lintas negara.
“Jadi, ini lebih merupakan konsekuensi dari ketidakpastian global, bukan masalah khusus Indonesia,” kata Pranjul dalam media briefing secara daring di Jakarta, Jumat.
Ia berharap arus FDI kembali mengalir setelah ketidakpastian tarif mereda dan aturan baru dipastikan, walaupun dampaknya akan bervariasi antar negara.
“Jika aturan tarif baru sudah final, investasi korporasi global bisa mulai lagi dan FDI juga akan mengalir,” kata Pranjul.
Ia melihat peluang untuk Indonesia menarik FDI di manufaktur menengah (mid-tech) yang padat karya seperti tekstil, pakaian, alas kaki dan furnitur.
Pranjul juga mencatat bahwa ASEAN sudah mendapat keuntungan dari sektor ini pada masa pemerintahan Donald Trump yang pertama, dan gelombang baru mungkin terjadi di periode berikutnya.
“Indonesia sudah memproduksi barang-barang tersebut, namun skalanya perlu diperbesar. Misalnya, ekspor pakaian Indonesia baru mencapai 25 persen dari Vietnam,” kata dia.
Pada kesempatan yang sama, Head of Equity Strategy Asia Pacific HSBC Global Research Herald van der Linde juga sepakat dengan Pranjul.
Menurutnya, investasi global melemah akibat ketidakpastian tarif, membuat banyak perusahaan menunda pembangunan pabrik, termasuk di Indonesia.
Namun, pergeseran rantai pasok global memberi peluang bagi ASEAN. Oleh sebab itu, Indonesia diharapkan mampu menarik lebih banyak FDI di sektor manufaktur menengah yang padat karya sekaligus membutuhkan tenaga kerja terampil, sehingga dapat mendorong permintaan akan tenaga kerja.
“Ini lebih merupakan isu jangka menengah. Negara lain juga tengah berupaya mencapai hal yang sama. Vietnam dan Malaysia sudah berhasil, dan menurut saya Indonesia harus memastikan untuk tidak tertinggal (dalam hal menarik FDI),” kata Herald.
Berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi pada triwulan II 2025 mencapai Rp477,7 triliun. Dari jumlah ini, porsi FDI tercatat sebesar 42,3 persen atau senilai Rp202,2 triliun.
Realisasi FDI triwulan II 2025 menurun apabila dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar Rp230,4 triliun.
Secara tahunan, FDI juga menurun dibandingkan realisasi triwulan II 2024 yang sebesar Rp217,3 triliun.
Pada triwulan II 2025, subsektor realisasi FDI terbesar antara lain industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya sebesar 3,6 miliar dolar AS (28,8 persen).
Kemudian diikuti pertambangan sebesar 1,3 miliar dolar AS (10 persen), jasa lainnya 1,1 miliar dolar AS (8,8 persen), industri kimia dan farmasi 0,7 miliar dolar AS (5,1 persen), serta perumahan, kawasan industri, dan perkantoran 0,6 miliar dolar AS (4,9 persen).
Baca juga: Ekonom: Kopdes Merah Putih langkah baik untuk jangkau sektor informal
Baca juga: Ekonom sebut konsumen informal jadi penyangga pertumbuhan ekonomi Q2
Baca juga: Ekonom proyeksikan ekonomi RI bisa tumbuh 5,2 persen sepanjang 2025
Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Agus Salim
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.