Catatan Cak AT: Pesantren Tamansiswa Setelah Satu Abad Lebih

3 weeks ago 15
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Pesantren Tamansiswa Setelah Satu Abad Lebih. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- "Pendidikan itu menanam. Pesantren menumbuhkan. Taman Siswa merawat. Maka marilah kita bertanam bersama, sebelum ladang ini jadi pabrik." – Catatan dari halaman 5.

Pada suatu pagi yang biasa saja, halaman 5 koran _Kedaulatan Rakyat_ menyajikan berita yang tak biasa: "Tamansiswa mendirikan pondok pesantren."

Tidak di perbatasan, bukan di desa ujung utara Sleman, tapi di jantung kompleks Taman Wijaya Brata, pada mushalla bersebelahan langsung dengan makam Ki dan Nyi Hadjar Dewantara di Yogyakarta.

Berita ini bisa saja luput dari perhatian jika Anda hanya mencari kabar seputar harga cabai atau kasus ijazah yang berseri-seri.

Baca juga: Catatan Cak AT: CUDA Berjalan Tanpa CUDA

Tapi bagi yang membaca pelan, dengan hati dan rasa sejarah, ini seperti menemukan bahwa akhirnya seperti Einstein buka pesantren fisika, atau Karl Marx menulis tafsir surat An-Nisa.

Mengejutkan, menyentuh, sekaligus membuat kening mengerut: Lho, kenapa baru sekarang?

Mari kita mulai dengan pertanyaan paling mendasar: kenapa Tamansiswa baru mendirikan pesantren setelah 103 tahun? Apakah karena Ki Hadjar dulu alergi sarung? Atau karena Majelis Luhur baru menemukan bahwa "Ki" dan "Kyai" itu berasal dari akar kata yang sama: penghormatan kepada ilmu, bukan gelar feodal?

Baca juga: Tak Lagi Kota Termacet, Senator Ungkap Strategi Turunkan Peringkat Jakarta

Tentu tidak. Jawabannya lebih rumit dari sekadar masalah sarung atau sorban. Ini seperti menanyakan kenapa tukang bakso baru jual siomay setelah satu abad berdagang. Kadang kita hanya butuh momen yang tepat untuk menyadari bahwa identitas kita sejak dulu sudah nyantri, hanya tanpa menyebut diri sebagai santri.

Tamansiswa didirikan pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Meskipun menerima siswa dari berbagai latar belakang, termasuk pesantren, Tamansiswa bukanlah pesantren. Tamansiswa lebih menekankan pada pendidikan umum yang berlandaskan nilai-nilai kebangsaan dan kebudayaan.

Tamansiswa memiliki tiga semboyan utama yang dikenal sebagai "among", yaitu _Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani._ Sama seperti pesantren, Tamansiswa bertujuan mencerdaskan bangsa, mempertebal keindonesiaan, dan mencapai kemerdekaan.

Ki Rahmat Fauzi, pimpinan Pondok Pesantren Ki Hadjar Dewantara, berkata lantang: “Saya meyakini, Ki Hadjar Dewantara adalah orang pesantren.” Dan beliau tidak sendirian. Kalau kita telaah secara jujur, seluruh sistem Tamansiswa sejak awal memang bercita rasa pesantren —bedanya hanya pada kosmetika istilah dan tata busana.

Baca juga: Canggu's Real Estate Evolution: Prima Development and Colliers Indonesia Shape a New Era

Mari kita bandingkan:

Di pesantren, Kyai sebagai pemimpin spiritual. Di Tamansiswa, Ki sebagai pamong dan pendidik. Di pesantren, santri mondok; di Tamansiswa, belajar mengabdi . Di pesantren, murid hidup di asrama; di Tamansiswa, murid belajar berbudaya.

Di pesantren, ada kitab kuning, tafsir, akhlak. Sementara di Tamansiswa, ada sastra Jawa, sejarah, budi pekerti. Di pesantren, sanri menghormati guru melebihi orang tua. Di Tamansiswa, pelajar _ing ngarso sung tulodho.

Di pesantren, ilmu sebagai cahaya, bukan komoditas, dan di Tamansiswa berlaku pendidikan sebagai alat pemerdekaan

Ternyata bedanya hanya di warna, tidak pada ruhnya. Ki Hadjar, tanpa sorban dan peci haji, adalah kyai pendidikan nasional. Ia mengaji filsafat Barat di satu sisi, namun menyisipkan nilai budi pekerti dan laku prihatin yang tak ubahnya lelaku pesantren.

Baca juga: Catatan Cak AT: You'll Never Walk Alone

Yang menarik dari Ponpes Ki Hadjar ini adalah target santrinya: para mahasiswa. Sebuah rekayasa sosial yang luar biasa, karena biasanya santri jadi mahasiswa. Tapi sekarang, setelah melewati jenjang S1, para sarjana diminta kembali "mondok" —agar tidak hanya pintar Google Scholar, tapi juga paham ilmu ngelmu kahanan.

Mungkin inilah kritik diam-diam Tamansiswa kepada dunia akademik hari ini: terlalu banyak kepala, terlalu sedikit hati. Maka didirikanlah pondok di tengah kampus keabadian Ki Hadjar, agar generasi post-TikTok ini bisa kembali mencium bau kitab dan sesekali mematikan ponsel saat mengaji.

Pertanyaannya kini: apakah pendirian ponpes ini murni kontinuitas nilai, atau justru respons terhadap kegelisahan modern? Bisa jadi, Tamansiswa —yang selama ini dipersepsikan sebagai sekolah nasionalis sekuler Jawa-sentris— merasa perlu menegaskan bahwa spiritualitas tidak pernah absen dari pendidikannya.

Kita hidup di zaman ketika pesantren dianggap benteng terakhir moral bangsa. Mungkin Tamansiswa pun ingin menunjukkan bahwa mereka tidak pernah kehilangan jati diri santri, hanya saja mereka menuliskannya dalam aksara Latin dan kadang dalam bentuk sandiwara panggung.

Baca juga: Ini Syarat dan Kriteria Penerima Bantuan Perbaikan Rumah Tak Layak Huni di Depok

Barangkali inilah waktunya ki dan kyai bersatu kembali dalam satu laku pendidikan. Bukan sekadar rekonsiliasi istilah, tapi penyatuan visi bahwa pendidikan sejati adalah yang membebaskan jiwa, memerdekakan akal, dan menumbuhkan akhlak.

Perlu waktu satu abad lebih bagi Tamansiswa untuk "kembali ke pesantren". Tapi kita tidak boleh menyikapinya sebagai keterlambatan. Lebih tepatnya, ini tanda bahwa pendidikan besar selalu menemukan jalannya kembali ke akar, bahkan bila harus melingkar dulu satu abad.

Dan kalau pun butuh 100 tahun untuk mendirikan pesantren, semoga tak perlu satu abad lagi untuk mencetak Kyai Hadjar Dewantara generasi baru. Salam hormat, dari santri Ki dan Kyai. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 8/7/2025

Read Entire Article